
Kalau kamu penikmat film horor lokal, pasti tahu Pengabdi Setan versi 2017 yang disutradarai oleh Joko Anwar. Film ini sukses besar, bukan cuma karena cerita atau akting pemainnya, tapi juga karena lokasi syutingnya yang begitu autentik. Dan ya—rumah tua tempat cerita film itu bergulir memang ada sungguhan. Letaknya? Di Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Sekilas, rumah ini tampak seperti bangunan kolonial biasa. Tapi bagi mereka yang pernah melihat atau bahkan menginjakkan kaki di halamannya, rumah itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar tembok dan jendela. Ia menyimpan keheningan yang terlalu pekat untuk disebut biasa.
Pangalengan yang Tenang dan Sebuah Rumah yang Tak Pernah Ramai

Pangalengan dikenal sebagai kawasan perkebunan teh yang tenang dan sejuk. Tapi jauh di balik kabut dan pepohonan hijau, berdiri sebuah rumah besar tua, tersembunyi di tengah ladang luas. Rumah ini dulunya adalah rumah dinas zaman Belanda, dibangun untuk para pengawas kebun teh.
Sudah puluhan tahun tak ditempati, rumah ini berdiri dalam diam. Tidak lapuk, tapi juga tidak terawat. Jendela-jendelanya besar, lantai kayunya berderit jika diinjak, dan jika malam tiba—tak ada satu cahaya pun menyala.
Beberapa orang menyebutnya rumah mati. Bukan karena hancur atau reyot, tapi karena rumah ini terasa… tidak hidup.
Kenapa Joko Anwar Memilih Rumah Ini?
Jawabannya sederhana: rumah ini sudah menyeramkan bahkan sebelum kamera dinyalakan.
Joko Anwar, dalam wawancaranya, menyebut kalau rumah ini tidak perlu banyak diubah. Ia hanya menambahkan properti seperlunya, selebihnya atmosfer sudah berbicara sendiri. Ketika penonton merasa merinding saat menonton film, sebagian besar dari rasa takut itu datang dari suasana asli rumah ini—bukan efek digital.
Banyak kru bahkan tidak betah berada lama di dalam rumah saat malam. Beberapa di antaranya mengaku seperti diawasi. Suara-suara aneh, alat mati mendadak, hingga cerita kesurupan benar-benar terjadi. Dan yang bikin merinding, semua itu terjadi tanpa skrip.
Kisah Mistis: Bukan Hanya di Film, Tapi di Lokasi Aslinya
Rumah ini menyimpan cerita yang lebih tua dari film itu sendiri. Warga sekitar sudah lama tahu, ada sesuatu yang berbeda dengan bangunan ini. Sejak dulu, anak-anak dilarang bermain dekat rumah. Orang dewasa pun jarang berani mendekat tanpa alasan jelas.
Ada yang pernah melihat sosok perempuan tua berdiri di balkon lantai dua, meski rumah itu kosong. Ada pula yang mendengar suara tangisan lirih saat melintas di malam hari. Bahkan, salah satu tukang kebun yang bekerja di sekitar sana pernah mendengar suara piano—padahal tak ada satu alat musik pun di rumah itu.
Lucunya, saat cerita-cerita ini dituturkan oleh warga, ekspresi mereka datar. Seolah kejadian seperti itu adalah hal biasa. “Sudah dari dulu begitu,” kata seorang pria tua yang rumahnya tak jauh dari sana.
Bisa Dikunjungi? Bisa, Tapi Nggak Gampang
Kalau kamu penasaran dan ingin mengunjungi rumah ini, bisa saja. Tapi jangan harap ada loket tiket atau papan sambutan. Rumah ini bukan tempat wisata. Ia terletak di dalam kawasan Perkebunan Teh Malabar, yang jalannya tidak ramah untuk mobil biasa.
Kamu harus melewati jalan tanah yang licin saat hujan, dengan kabut yang bisa datang tiba-tiba. Tak ada penerangan. Dan jangan harap sinyal HP akan stabil di sana. Bahkan jika kamu berhasil sampai depan rumah, kamu mungkin hanya akan berdiri sebentar—lalu memilih mundur. Bukan karena dilarang, tapi karena suasana yang “tidak enak”.
Yang Dirasakan Banyak Orang: Tekanan, Diam, dan Dingin
Ada satu hal yang hampir semua orang rasakan ketika berada di rumah itu: diam yang tidak biasa. Bukan sekadar sepi, tapi seperti ada tekanan udara yang membuat dada terasa berat. Suhu dingin khas pegunungan, ditambah aroma lembab dari bangunan tua, menciptakan kombinasi yang membuat bulu kuduk berdiri.
Beberapa konten kreator yang pernah ke sana membagikan pengalaman mereka lewat video. Ada yang kamera ponselnya tiba-tiba gelap. Ada yang suara narasinya mendadak hilang saat di-edit. Apakah itu kebetulan? Mungkin. Tapi terlalu sering terjadi untuk dibilang biasa.
Kenapa Rumah Ini Bisa Sebegitu Ikoniknya?
Tak semua film horor bisa menyatu sedalam itu dengan lokasi syutingnya. Tapi Pengabdi Setan berhasil. Rumah tua itu menjadi karakter sendiri dalam cerita. Bukan cuma latar tempat, tapi bagian dari ketakutan itu sendiri.
Banyak penonton mengaku, setelah menonton filmnya, mereka mencari tahu tentang rumah tersebut. Beberapa bahkan nekat ingin datang langsung. Dan setelah datang, sebagian mengaku ingin cepat-cepat pulang. Bukan karena kecewa, tapi karena suasananya tak bisa ditahan lebih lama.
Apakah Rumah Ini Masih Berdiri?
Ya, rumah itu masih ada sampai sekarang. Masih berdiri dengan bentuk yang hampir tak berubah. Tak ada renovasi, tak ada penjaga. Dibiarkan begitu saja—sunyi, diam, dan seolah terus menunggu cerita baru ditambahkan ke dalamnya.
Beberapa orang bilang, tempat ini seharusnya dijaga dan dijadikan cagar budaya. Tapi sebagian lain berkata, biarkan saja seperti itu. Jangan diganggu. Rumah itu sudah punya tuannya sendiri, kata mereka.
Penutup: Tak Semua Tempat Harus Dikunjungi
Kita hidup di zaman di mana semua hal ingin dijelajahi, diabadikan, dan dibagikan di media sosial. Tapi ada beberapa tempat yang mungkin lebih baik dibiarkan sunyi. Rumah Pengabdi Setan adalah salah satunya.
Ia bukan cuma bangunan. Ia adalah cerita. Ia adalah rasa takut yang tak perlu dijelaskan. Dan kadang, yang paling menakutkan bukanlah yang kita lihat di layar—tapi yang berdiri diam di dunia nyata, tak banyak bicara, tapi tak pernah benar-benar kosong.
Aroma Malam dari Rumah Kentang Bandung