
Beberapa tahun lalu, saya pernah mengalami perjalanan yang tidak direncanakan sama sekali. Niatnya hanya berkendara santai ke arah selatan Karawang untuk melepas penat. Tidak ada tujuan, tidak ada titik akhir. Cukup berputar dan kembali pulang sebelum malam. Tapi seperti biasa, hidup punya caranya sendiri membawa kita ke tempat-tempat yang tak kita duga. Hari itu, saya bertemu Bendungan Walahar.
Saya tak tahu banyak tentang tempat ini sebelumnya. Bahkan, nama “Walahar” pun terdengar asing di telinga saya saat melihat plang kecil di tepi jalan: “Bendungan Walahar – 2 KM”. Awalnya saya hendak terus, tapi entah kenapa, ada dorongan kuat untuk membelokkan motor ke arah yang ditunjukkan papan tua itu.
Ketika Waktu Berhenti di Tepi Air

Begitu sampai di sana, saya langsung disambut oleh suasana yang… bagaimana ya menjelaskannya? Tenang, tapi ada sesuatu yang terasa menekan. Seolah-olah saya tidak sendiri, padahal hanya ada beberapa orang yang memancing di pinggir saluran air. Bangunan bendungan berdiri gagah, tua dan kokoh, meskipun sebagian temboknya sudah retak dan dipenuhi lumut.
Saya berjalan perlahan menyusuri jembatan sempit, dan di sanalah saya bertemu seorang lelaki tua. Ia duduk bersandar di pagar, rokok kretek menggantung di jemarinya. Ia tak banyak bicara, hanya memandangi air yang mengalir di bawah. Saya ikut duduk, tak berniat menyapa. Tapi setelah beberapa menit, tanpa menoleh, ia berkata,
“Kalau malam, tempat ini ramai, Nak. Tapi bukan sama orang-orang kayak kita.”
Saya menoleh. Tapi ia tak menjelaskan lebih jauh.
Kisah yang Tidak Tertulis
Rasa penasaran mendorong saya mencari tahu lebih dalam setelah pulang. Ternyata, Bendungan Walahar dibangun sekitar tahun 1925 oleh pemerintah kolonial Belanda. Fungsinya jelas: untuk mengatur irigasi dan pasokan air ke sawah-sawah di Karawang. Tapi sebagaimana banyak proyek besar zaman dulu, kisahnya tidak berhenti di situ.
Beberapa sumber menyebut bahwa pembangunan bendungan ini menelan korban jiwa. Kecelakaan kerja dianggap biasa, bahkan beberapa cerita dari warga tua menyebut adanya pekerja yang hilang secara misterius saat penggalian saluran bawah tanah. Ada pula mitos tentang tumbal yang diberikan demi kelancaran proyek. Nama “Tuan Brochman” kerap muncul—seorang insinyur Belanda yang konon wafat di lokasi ini dan arwahnya dipercaya masih berkeliaran.
Apakah cerita-cerita itu nyata? Entahlah. Tapi suara-suara yang saya dengar dari warga sekitar, semuanya mengarah ke satu hal: tempat ini tidak sepenuhnya milik dunia nyata.
Ketika Malam Mulai Turun
Saya kembali ke Bendungan Walahar seminggu kemudian. Kali ini saya datang menjelang malam, didampingi seorang teman. Kami ingin tahu, apakah cerita-cerita yang kami dengar hanya isapan jempol atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi di sana.
Saat matahari perlahan tenggelam, suasana mulai berubah. Angin yang tadinya sejuk jadi dingin menggigit. Lampu-lampu jalan menyala redup, dan suara jangkrik mulai mendominasi. Kami berjalan menyusuri jembatan lagi, pelan-pelan. Tak ada siapa-siapa. Tapi dari arah bawah bendungan, terdengar suara… seperti seseorang menyapu lantai. Pelan. Teratur. Padahal jelas-jelas di sana tidak ada orang.
Kami saling menatap. Tidak bicara. Hanya sepakat untuk kembali ke motor dan pulang. Bukan karena takut. Tapi ada semacam rasa tidak pantas untuk berada di sana terlalu lama.
Warung Tua dan Cerita yang Mengendap
Sebelum benar-benar pergi, kami sempat berhenti di warung kecil tak jauh dari area utama bendungan. Pemiliknya, seorang ibu tua dengan senyum ramah, seperti sudah terbiasa melihat wajah-wajah penasaran.
“Kadang mereka datang ramai-ramai. Bikin konten YouTube. Bawa kamera besar,” katanya sambil menuangkan kopi ke gelas plastik. “Tapi besoknya balik lagi. Minta maaf. Soalnya ada yang kerasukan, atau mimpi aneh.”
Saya hanya mengangguk. Tidak ingin mengorek lebih jauh. Tapi kemudian beliau menambahkan,
“Bendungan ini bukan sekadar beton dan air, Nak. Ini kuburan cerita.”
Kalimat itu menancap dalam. Entah karena cara beliau mengatakannya, atau karena saya diam-diam mulai mempercayainya.
Pantangan Tak Tertulis
Sejak dulu, tempat-tempat seperti ini punya aturan tak tertulis. Meski tidak disahkan secara hukum, warga memegangnya erat. Di Bendungan Walahar, ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dilakukan:
- Jangan bersiul, terutama saat malam.
- Jangan menyebut nama orang berulang kali.
- Jangan memotret tanpa izin, meskipun hanya pakai ponsel.
- Dan yang paling penting, jangan pernah mengambil apapun dari sekitar area bendungan. Sekecil apa pun.
Menurut warga, pelanggaran terhadap hal-hal kecil seperti itu bisa berujung pada gangguan dari “yang tidak terlihat.” Dan gangguan itu, katanya, bisa dibawa pulang.
Waktu Tak Akan Pernah Menghapus Cerita
Kini, setiap kali saya mendengar kata “Walahar,” ada sensasi aneh di dada. Seperti sesuatu yang belum selesai. Saya tidak tahu apakah saya akan kembali lagi ke sana. Tapi satu hal yang pasti: tempat itu meninggalkan jejak dalam ingatan saya.
Bukan karena penampakan atau suara aneh—meskipun mungkin sebagian orang mencarinya. Tapi lebih pada bagaimana tempat itu menyimpan atmosfer yang sulit dijelaskan. Ada aura tua yang tidak bisa dihapus oleh modernitas. Ada kisah yang tetap berbisik, bahkan ketika tidak ada yang mau mendengarkan.
Penutup: Karawang Tidak Hanya Tentang Sawah
Banyak orang mengenal Karawang dari padinya yang luas, sejarah perjuangan kemerdekaan, dan kawasan industri. Tapi di satu sudut sunyi bernama Bendungan Walahar, ada lapisan lain dari Karawang yang tak semua orang tahu.
Di sana, waktu seperti berhenti. Bangunan kolonial masih berdiri dengan bangga, tapi diam-diam menyimpan luka. Dan di malam-malam tertentu, jika Anda cukup peka, mungkin Anda akan mendengar bisikan masa lalu yang belum selesai disampaikan.
Candi Batujaya: Ketika Langkah Kaki Tertahan oleh Sesuatu yang Tak Terlihat