Pabrik Kayu Gelap di Samarinda: Antara Kenangan, Ketakutan, dan Sesuatu yang Tak Terlihat
June 19, 2025

Kalau kau pernah berjalan-jalan ke pinggiran Samarinda, Kalimantan Timur, mungkin kau akan melewati satu area sepi, penuh ilalang, di mana udara terasa lebih berat dari biasanya. Tak jauh dari aliran sungai Mahakam, berdirilah sebuah bangunan tua—rapuh, membisu, dan seperti menyimpan napas panjang yang tertahan. Warga sekitar menyebutnya Pabrik Kayu Gelap.

Tapi percayalah, itu bukan hanya sebutan. Bagi banyak orang, itu adalah peringatan.


🏚️ Bukan Pabrik Biasa

Konon katanya, pabrik ini didirikan pada awal dekade 1980-an. Dulu, Samarinda masih ramai dengan aktivitas perkayuan. Lokasi pabrik ini pun strategis—dekat sungai, mudah dijangkau truk log kayu dari hutan. Tapi entah kenapa, hanya dalam beberapa tahun, suara mesin yang dulunya mendominasi kawasan itu mendadak hilang.

Alasan resminya? Kecelakaan kerja. Tapi bagi sebagian warga, kisahnya jauh lebih kelam.


⚠️ Tiga Mayat dan Tidak Ada Api

Salah satu peristiwa yang kerap dibisikkan warga adalah soal runtuhnya plafon bagian belakang pabrik. Tiga pekerja tewas. Tubuh mereka hitam gosong, tapi anehnya, tidak ada jejak api sama sekali. Tak ada sisa kebakaran, tak ada bau hangus. “Mereka terbakar… tapi tidak terbakar,” begitu ucapan seorang warga sepuh yang tinggal tak jauh dari lokasi.

Sejak insiden itu, semangat kerja merosot. Para pekerja mulai satu per satu mengundurkan diri. Mesin rusak tak diperbaiki, produksi melambat. Dan pada awal tahun 2000-an, pabrik itu tutup. Tapi cerita—cerita ganjil—baru saja dimulai.


🌒 Kenapa Disebut “Gelap”?

Pabrik itu memang gelap secara literal. Atapnya sudah banyak yang bolong, dindingnya dipeluk lumut dan tanaman liar. Tapi ‘gelap’ yang dimaksud warga bukan sekadar cahaya yang hilang. Gelap yang ini… masuk ke dalam dada.

Beberapa warga yang lewat malam hari sering merasa mual, pusing, bahkan menangis tanpa sebab. Kadang mereka mendengar suara gerinda dari dalam gedung kosong, padahal tak ada satu alat pun yang menyala.

Yang paling sering? Suara palu logam. Tiga ketukan. Diam. Tiga ketukan lagi.


🎥 Dikejar Rasa Bersalah: Cerita Anak Kota

Tahun 2018, sekelompok mahasiswa dari Samarinda membuat film dokumenter kampus tentang tempat-tempat terbengkalai. Mereka masuk ke pabrik itu siang hari. Kamera nyala, suara mereka jelas. Tapi saat proses editing, mereka menyadari sesuatu.

Ada satu suara perempuan yang tertangkap mikrofon. Tidak berasal dari kru. Tidak berasal dari luar. Dan tidak bicara dalam bahasa Indonesia, tapi Banjar lama. Mereka mengira itu hanyalah suara radio. Tapi… pabrik itu tak punya listrik.


👁️ Ada yang Tidak Ingin Diketahui

Satu dari mahasiswa tersebut kemudian mengalami gangguan tidur parah. Ia terus memimpikan seorang perempuan tua duduk di atas tumpukan kayu, menggosok mata dengan jari-jarinya sendiri. Dalam mimpinya, perempuan itu selalu berkata, “Jangan rekam. Ini rumah kami.”

Dua minggu kemudian, laptop tempat menyimpan video itu rusak. Harddisk terbakar.


🧩 Ruang Bawah Tanah yang Tidak Pernah Disebut

Beberapa anak kecil yang bermain layang-layang di area sekitar menemukan pintu besi yang separuh terkubur tanah. Setelah dibuka, mereka menemukan ruangan kecil di bawah tanah. Tidak ada mesin. Hanya sebuah meja, tiga kursi patah, dan simbol aneh di lantai. Terbakar tapi tidak hangus. Seperti… bekas sesuatu yang diritualkan.

Ketika warga tua ditanya soal simbol itu, mereka hanya menggeleng dan bilang, “Itu bukan dari sini.”


🧱 Kenapa Tak Dirobohkan Saja?

Mungkin pertanyaan paling logis. Kalau bangunan itu sudah tidak berguna, kenapa tak dihancurkan? Jawabannya sudah dicoba.

Tahun 2019, ada rencana dari salah satu pengembang lokal untuk membersihkan area tersebut. Mesin ekskavator dibawa. Tapi setiap kali alat berat menyentuh fondasi pabrik, mesinnya mati mendadak. Baterai drone pengawas tiba-tiba drop hingga 0%. Operator ekskavator muntah dan mengalami kesurupan.

Proyek dihentikan. Dan sejak itu, tak ada yang berani coba lagi.


👮‍♂️ Larangan yang Tidak Digubris

Pemerintah setempat memasang pagar dan papan peringatan: “Dilarang Masuk – Berbahaya”. Tapi pagar selalu rusak. Anehnya, bukan rusak seperti dipotong. Tapi seperti… roboh karena dari dalam.

Papan peringatan pernah ditemukan patah sempurna di bagian tengah. Padahal malam sebelumnya, cuaca tenang. Tidak ada angin besar. Tidak ada yang lewat.


🧘 Apa Kata Orang Pintar?

Beberapa orang yang “mengerti” hal-hal gaib pernah datang dan mencoba membaca energi tempat itu. Salah satu praktisi spiritual dari Bontang berkata:

“Tempat itu… bukan hanya dihuni arwah. Ada sesuatu yang lebih tua dari itu. Mungkin bukan manusia. Mungkin bukan makhluk yang tahu bahasa kita.”


🔚 Tak Semua Gelap Butuh Pelita

Hari ini, pabrik itu masih berdiri. Sepi. Diam. Tapi tak benar-benar mati. Warga Samarinda sudah tahu, itu bukan tempat untuk ditanya-tanya terlalu banyak. Anak-anak dilarang mendekat. Remaja hanya berani berbicara jika ramai-ramai. Dan bahkan, tukang ojek enggan lewat rutenya saat malam hari.

Bukan karena takut cerita hantu. Tapi karena, semakin banyak yang ingin tahu, katanya, “mereka jadi semakin ingin terlihat.”


Kesimpulan?
Kalimantan, tanah yang kaya dengan hutan dan cerita leluhur, menyimpan lebih dari sekadar legenda. Pabrik Kayu Gelap bukan hanya sisa industri. Ia adalah tapak kaki dari masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.

Dan seperti yang orang tua sering bilang, “Kalau kau temui pintu yang tak tahu menuju ke mana… jangan buka.”

Bisikan dari Perut Bumi: Malam yang Tak Biasa di Terowongan Lampegan