Bisikan dari Perut Bumi: Malam yang Tak Biasa di Terowongan Lampegan
June 16, 2025

Beberapa kilometer dari jalan utama Cianjur–Sukabumi, aku berhenti di depan mulut batu besar yang ditelan kabut pagi. Udara di sana basah, diam, dan entah kenapa, terasa berat. Mereka menyebut tempat itu Terowongan Lampegan — sebuah lorong tua peninggalan Belanda yang katanya menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dilihat mata.

Seorang lelaki tua, warga asli Desa Cimenteng, menyambutku di warung kecil tak jauh dari lokasi. Ia menunjuk ke arah rel yang sudah ditumbuhi semak liar, lalu berkata, “Kalau kamu ke sana, jangan berisik. Dan kalau dengar ada yang nyapa, jangan jawab.”

Aku pikir ia bercanda. Sampai aku berdiri di depan terowongan itu sendiri, dan semuanya berubah.


Dibangun dengan Keringat dan Air Mata

Terowongan Lampegan

Terowongan Lampegan bukan sekadar jalur rel. Ia dibangun akhir abad ke-19, saat para pekerja lokal dipaksa mengikis batu dan tanah dengan alat seadanya. Tak ada helm keselamatan. Tak ada upah yang layak. Beberapa meninggal karena longsor saat menggali sisi dalam, sebagian karena kelelahan atau penyakit.

Warga setempat percaya, mayat-mayat mereka dikubur begitu saja di balik dinding terowongan. Tidak semua jenazah dibawa pulang. Tidak semua nama dikenang. Mereka yang hilang… hilang benar-benar.


Terowongan yang Tidak Pernah Sepenuhnya Kosong

Aku berjalan menyusuri bagian dalam Lampegan saat senja. Tak ada sinyal ponsel. Hanya derap langkahku, gema suara sendiri, dan suara air menetes dari langit-langit.

Lalu aku dengar sesuatu. Langkah kaki dari arah belakang.

Kupikir itu pantulan suaraku sendiri. Tapi suaranya tidak pas. Langkahnya lebih berat. Lebih lambat. Dan tidak berhenti saat aku berhenti.

Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa.


Cerita dari Mereka yang Bekerja di Jalur Itu

Seorang petugas rel yang sempat aku temui beberapa hari sebelumnya bercerita, tanpa banyak drama. Ia sudah belasan tahun mengurus lintasan di sekitar Lampegan. Ia bilang, “Kalau sudah malam, rel di sana sering ‘bernapas’ sendiri.”

Aku bertanya apa maksudnya.

Ia hanya menjawab, “Kamu harus dengar sendiri. Kadang relnya bunyi pelan. Seperti seseorang menarik napas panjang, lalu berhenti tiba-tiba. Hening. Lalu terdengar suara… seperti orang berjalan, tapi di dalam rel.”


Ada yang Menunggu di Dalam

Konon, dulu pernah ada masinis yang mengerem mendadak tepat di tengah terowongan. Ia mengira ada seseorang berdiri di rel. Ketika kereta berhenti, tak ada satu pun di sana. Tapi setelah sampai stasiun berikutnya, ia sempat ditanyai karena sistem kontrol mendeteksi dua bayangan tubuh di dalam kabin, padahal masinis itu sendirian.

Yang lebih aneh, hasil rekaman CCTV… menghilang begitu saja dari pusat data.


Bukan Tempat untuk Uji Nyali

Beberapa pembuat konten YouTube pernah mencoba merekam “ekspedisi malam” di Lampegan. Tapi banyak dari mereka mengaku tak berhasil menyelesaikan syuting. Kamera mendadak mati. Audio rusak. Bahkan ada yang merasa seperti “dibisiki” ketika merekam segmen tertentu.

Salah satu dari mereka bercerita bahwa saat meninjau ulang hasil footage, muncul suara seperti wanita tertawa pelan di bagian yang seharusnya sunyi. “Padahal kami semua laki-laki,” ujarnya. Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan syuting.


Satu Malam di Tepi Terowongan

Malam hari, angin dari dalam terowongan terasa lebih dingin dibanding udara luar. Tak ada binatang, tak ada suara jangkrik. Aku berdiri beberapa meter dari lubang masuk, menatap kegelapan yang terasa seperti menyerap cahaya.

Seseorang dari tim pendampingku — seorang warga sekitar — tiba-tiba menyuruh kami mundur. Ia berkata, “Sudah waktunya mereka lewat.”

Aku tidak bertanya siapa “mereka”.


Tempat yang Tidak Sekadar Tua

Mungkin, Lampegan hanyalah terowongan tua. Tapi setiap batu yang disusun, setiap langkah yang pernah menapakinya, menyimpan sisa-sisa kehidupan yang belum sempat diakhiri dengan doa.

Dan mungkin, yang paling menyeramkan dari tempat ini… adalah kenyataan bahwa semua cerita itu tak pernah diceritakan sembarangan. Hanya untuk mereka yang benar-benar ingin tahu. Dan siap menanggung apa pun setelahnya.


📝 Catatan Penutup

Terowongan Lampegan memang masih aktif dilewati kereta lokal hingga kini. Tapi mereka yang pernah berada cukup lama di sana tahu: ada saatnya tempat ini hanya untuk yang “perlu” saja. Selebihnya, lebih baik diam, dan pulang sebelum hari gelap.

Terowongan Casablanca – Jakarta: Di Balik Jalan Raya, Ada Cerita yang Tak Pernah Tidur