Di sebuah desa terpencil bernama Bawah Angin, ada satu tempat yang selalu membuat warga menunduk saat membicarakannya: hutan di ujung desa. Hutan itu bukan sekadar rimbun dan gelap, tetapi dipercaya menyimpan sesuatu yang “tidak terlihat” oleh mata biasa. Sejak dulu, orang tua di desa selalu punya aturan yang sama: jangan pernah masuk ke hutan, apalagi saat matahari mulai tenggelam.
Larangan itu bukan tanpa alasan. Konon, semakin sore, udara di sekitar hutan berubah terasa berat. Angin berembus aneh, suara binatang seperti menjauh, dan yang paling sering disebut warga adalah bisikan halus yang terdengar seperti panggilan. Entah dari mana. Entah untuk siapa.
Namun semua kisah angker itu terasa seperti cerita lama—sampai suatu hari, seorang gadis kecil bernama Imah menghilang tanpa jejak.
Imah, Anak Kecil yang Terlalu Penasaran
Imah baru berusia 7 tahun, putri dari Pak Sarman dan Bu Narti. Ia dikenal ceria dan aktif, sering bermain di halaman rumah bersama anak-anak tetangga. Rumah keluarga Sarman berada tidak jauh dari batas desa, dan dari sana terlihat jalur kecil menuju hutan.
Sejak Imah mulai bisa berlarian sendiri, kedua orang tuanya selalu mengingatkan hal yang sama: jangan mendekati hutan. Pak Sarman bahkan pernah berkata bahwa hutan itu “bukan tempat manusia”, terutama untuk anak kecil. Imah biasanya menurut, meski sesekali terlihat menatap ke arah pepohonan seperti ingin tahu apa yang ada di dalamnya.
Pada sore hari itu, Imah diketahui bermain di dekat batas hutan. Beberapa warga sempat melihatnya memegang ranting, menggambar di tanah, lalu berdiri diam seperti mendengarkan sesuatu. Tidak ada yang mengira itu akan menjadi terakhir kalinya mereka melihat Imah di desa.
Suara Tawa dari Dalam Hutan
Menurut cerita yang kemudian beredar, Imah mendengar suara tawa anak-anak dari dalam hutan. Tawa itu terdengar ringan, seperti teman sebaya yang sedang bermain petak umpet. Untuk anak seusianya, suara itu bukan menakutkan—justru terasa mengundang.
Rasa penasaran mengalahkan peringatan orang tua. Imah melangkah masuk melewati semak, mengikuti arah suara. Makin jauh ia berjalan, makin samar suara dari desa. Ia terus melangkah hingga tanpa sadar berada di tengah-tengah hutan.
Saat senja berubah menjadi malam, desa mulai gelisah.
Pencarian yang Berubah Jadi Ketakutan
Ketika malam tiba dan Imah belum pulang, Pak Sarman dan Bu Narti mulai panik. Mereka mendatangi tetangga, memanggil nama anaknya di jalan-jalan desa, dan menyisir titik-titik tempat Imah biasa bermain. Warga ikut membantu, menyebar ke berbagai arah, membawa senter seadanya dan obor kecil.
Namun hingga larut, Imah tidak ditemukan.
Akhirnya, warga terpaksa melakukan hal yang paling mereka hindari: memasuki hutan.
Begitu melewati batas pepohonan, suasana langsung berubah. Banyak yang menggambarkan udara terasa dingin, padahal malam itu tidak hujan. Angin seperti bergerak melingkar, dan suara ranting patah terdengar seperti langkah kaki yang mengikuti dari belakang. Di antara pepohonan, beberapa warga mengaku mendengar bisikan pelan—seolah ada yang memanggil nama mereka satu per satu.
Beberapa orang sempat ingin menghentikan pencarian. Tetapi Pak Sarman memohon agar mereka tetap melanjutkan. Ia percaya anaknya masih bisa diselamatkan.
Di tengah pencarian, warga menemukan sesuatu yang membuat dada mereka sesak: jejak kaki kecil yang mengarah ke area jurang. Jejak itu berhenti tepat di tepi, seperti seseorang berdiri lama di sana lalu… hilang.
Tidak ada tanda jatuh. Tidak ada bekas tanah longsor. Hanya jejak yang berhenti begitu saja.
Tak jauh dari situ, mereka juga menemukan sebuah mainan kecil. Namun bukan milik Imah. Bentuknya seperti mainan anak-anak zaman dahulu—kusam, tua, dan terasa asing, seperti benda yang seharusnya tidak berada di hutan itu.
Mbok Karti dan Penglihatan Tentang Arwah Anak-Anak
Esok paginya, warga sepakat mendatangi seorang dukun tua yang disegani, Mbok Karti. Ia tinggal di rumah bambu di pinggir sawah dan jarang ditemui kecuali saat desa menghadapi musibah.
Dalam penglihatannya, Mbok Karti mengatakan bahwa hutan itu dulunya berhubungan dengan tragedi lama: arwah anak-anak yang tenggelam di sungai. Mereka tidak benar-benar “pergi” dan disebut terjebak di antara dua dunia. Menurut Mbok Karti, arwah-arwah itu sering memancing anak kecil dengan suara tawa dan permainan, lalu mengajak mereka “bergabung”.
Kalimat Mbok Karti membuat suasana membeku.
“Imah… sudah diambil oleh mereka,” ucapnya dengan suara bergetar. “Dia sekarang menjadi bagian dari mereka.”
Mendengar itu, Bu Narti jatuh menangis. Pak Sarman seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. Mereka datang dengan harapan, tetapi pulang membawa kenyataan pahit: Imah mungkin tidak akan kembali.
Legenda yang Menjadi Peringatan
Sejak peristiwa hilangnya Imah, hutan di Desa Bawah Angin semakin dijauhi. Warga membuat batas-batas baru dan menaruh tanda larangan. Anak-anak dilarang bermain mendekat, dan orang dewasa pun enggan melintas saat sore.
Hilangnya Imah kini bukan hanya cerita horor yang dibisikkan di pos ronda. Di desa itu, kisah Imah menjadi peringatan: ada tempat yang tetap harus dihormati, karena tidak semua yang memanggil dari kegelapan datang dengan niat baik.
Jika Anda ingin, saya bisa bantu buat versi yang lebih “SEO maksimal” untuk WordPress lengkap dengan: judul alternatif, meta description, slug, tag, dan struktur H2/H3 agar mudah naik di Google untuk keyword seperti kisah horor desa, hutan angker, anak hilang misterius, dan cerita seram Indonesia.