Ada dua jenis tempat yang biasanya bikin orang betah: yang punya pemandangan bagus, dan yang punya sinyal kuat. Tapi ada jenis tempat ketiga yang selalu bikin orang pulang dengan cerita—bukan karena indah, melainkan karena merindingnya kebawa sampai rumah. Cerita ini berangkat dari sebuah kampung kecil di Sumatera Utara yang namanya terdengar manis seperti buahnya: Alur Cempedak.
Jangan bayangin horor yang langsung teriak-teriak. Yang bikin ngeri dari cerita horor desa Alur Cempedak justru karena semuanya terasa “normal” di permukaan. Orang-orangnya ramah, jalannya sepi, udaranya dingin nyaman. Namun makin malam, ada aturan tak tertulis yang makin jelas: di sini, kamu boleh jadi tamu. Tapi jangan sok jadi pemilik.
Catatan: cerita ini bersifat fiksi horor, terinspirasi dari suasana desa-desa Sumatera Utara dan tradisi lisan setempat. Tujuannya hiburan, bukan klaim fakta.
Kenapa Aku Bisa Sampai ke Alur Cempedak
Namaku Raka. Aku bukan pemburu hantu, bukan juga konten kreator yang kerjaannya “uji nyali” dengan kamera dan keberanian setipis kertas. Aku datang karena hal yang lebih masuk akal: kerjaan.
Waktu itu aku dapat proyek dokumentasi kebun dan usaha kecil. Lokasinya tersebar di beberapa titik, dan salah satunya disebutkan “dekat Alur Cempedak.” Supaya hemat waktu, aku putuskan menginap semalam di desa itu. Dua jam sebelum magrib, aku sudah sampai.
Di pintu masuk kampung, aku ketemu seorang bapak tua duduk di pos kecil. Kulitnya legam, matanya tajam, tapi senyumnya hangat.
“Cari siapa, Nak?”
“Cari rumah Pak Leman, katanya bisa numpang menginap,” jawabku.
Bapak tua itu mengangguk pelan. “Bisa. Tapi ingat satu hal. Kalau malam dengar orang manggil nama, jangan jawab sebelum lihat orangnya.”
Aku ketawa kecil, refleks orang kota yang menganggap semua peringatan desa itu bumbu cerita. Tapi bapak itu tidak tertawa balik. Matanya malah makin serius.
“Bukan mau nakut-nakuti. Di sini, suara bisa pinjam nama.”
Kalimat itu nempel terus di kepala. Dan entah kenapa, setelah kalimat itu, judul di benakku otomatis berubah jadi: horor desa Alur Cempedak versi pengalaman pribadi.
Rumah Pak Leman dan Aturan yang Nggak Tertulis
Rumah Pak Leman ada di ujung jalan tanah, dekat kebun cempedak yang pohonnya tinggi-tinggi. Istrinya, Bu Rini, menyambutku dengan teh panas. Anak mereka, Dira, remaja kelas dua SMA, lebih banyak diam tapi matanya rajin mengamati.
Aku baru taruh tas, Pak Leman langsung berkata, “Malam ini jangan ke kebun. Apa pun alasannya.”
Aku mengangguk. “Iya, Pak. Saya cuma istirahat.”
Pak Leman menatapku sejenak seperti mengukur apakah aku tipe orang yang suka melanggar aturan. “Kalau dengar suara di luar, biarkan. Jangan intip dari jendela.”
Nah, yang ini agak sulit. Namanya juga manusia, dilarang justru penasaran. Tapi aku sok patuh. Dalam hati, aku bilang: paling ini cuma cara orang desa menjaga tamu biar nggak jalan-jalan malam dan nyasar.
Sore habis. Makan malam selesai. Jam menunjukkan pukul sembilan. Desa mulai sunyi, jenis sunyi yang terdengar seperti volume dunia diturunkan.
Lalu, suara pertama datang.
Tok. Tok. Tok.
Bukan dari pintu. Dari dinding samping rumah, arah kebun.
Aku menelan ludah. Bu Rini mematikan lampu ruang tengah, menyisakan lampu kecil di dapur. Pak Leman mengangkat telunjuk, memberi isyarat diam. Dira menunduk, tangannya menggenggam ujung bajunya.
Tok. Tok. Tok.
Kali ini disusul suara pelan seperti orang menyeret sesuatu di tanah basah.
Aku ingin bilang “mungkin kucing”, tapi suara seretannya terlalu berat untuk kucing, terlalu pelan untuk manusia biasa.
Aku menoleh ke jendela, lupa aturan “jangan intip”. Tanganku hampir menggeser tirai.
Dan di saat itu, suara perempuan memanggil dari luar.
“Raka…”
Suara itu halus, seolah kenal lama. Masalahnya, di desa ini aku baru beberapa jam.
Aku membeku.
Bu Rini menutup mulutnya sendiri, seolah takut suaranya keluar tanpa sengaja. Pak Leman menatapku tajam, peringatan tanpa kata. Dira memejamkan mata, bibirnya komat-kamit seperti mengulang doa.
Suara itu memanggil lagi.
“Raka… buka pintunya…”
Aku hampir menjawab. Serius, hampir. Karena suara itu terdengar benar. Hangat. Melembutkan logika.
Tapi aku ingat pesan bapak di pos: jangan jawab sebelum lihat orangnya.
Aku menahan napas.
Suara di luar mendadak berubah. Yang tadinya halus, kini terdengar serak, seperti pita suara digesek pasir.
“Raka…”
Tok. Tok. Tok.
Lalu hening.
Di dalam rumah, tidak ada yang bergerak selama beberapa menit. Baru setelah semuanya benar-benar sunyi, Pak Leman bicara pelan.
“Makanya kami bilang, suara bisa pinjam nama.”
Dan malam itu, horor desa Alur Cempedak resmi dimulai.
Kebun Cempedak yang Katanya “Ada Jalannya Sendiri”
Kamu tahu kebun yang kalau siang kelihatan biasa saja, tapi kalau malam terasa seperti pintu ke tempat lain? Kebun cempedak di samping rumah itu seperti itu. Dari jendela dapur, aku bisa lihat batang-batang pohon berdiri rapat, membentuk lorong-lorong gelap. Angin menggerakkan daun, dan setiap gerakan daun terdengar seperti bisik-bisik.
Aku bertanya, “Pak, sebenarnya ada apa di kebun itu?”
Pak Leman tidak langsung jawab. Ia mengambil rokok, tapi tidak menyalakannya. “Dulu, sebelum ada jalan tanah ini, kebun itu jalur orang pulang dari ladang. Ada yang hilang, dicari semalam suntuk, ketemu paginya… berdiri di tengah kebun, mukanya kosong. Sejak itu, orang percaya kebun punya ‘jalannya sendiri’. Kalau kamu ikut jalan yang salah, kamu muter-muter sampai lupa arah.”
Bu Rini menambahkan, “Yang paling bahaya bukan nyasar. Tapi kalau kamu diajak ngobrol di tengah kebun. Dia bisa pakai suara siapa saja.”
Aku tidak bertanya siapa “dia”, karena rasanya aku sudah bisa menebak. Di banyak cerita horor Sumatera Utara, sosok seperti itu sering tidak disebut namanya. Bukan karena lupa, tapi karena takut mengundang.
Pukul Dua Belas: Ketika Larangan Jadi Ujian
Aku berusaha tidur, tapi telinga seperti dipasang antena. Setiap suara kecil terdengar besar. Jam dinding berdetak seperti palu.
Menjelang tengah malam, suara ayam berkokok.
Aneh, karena itu bukan waktu ayam. Kokoknya panjang, tapi nadanya patah-patah, seperti dipaksa.
Lalu terdengar langkah di teras.
Pelan. Teratur. Seperti orang berjalan tanpa alas kaki.
Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Dari kamar, aku bisa dengar Pak Leman bangun dan berjalan ke ruang tengah. Dira juga keluar kamar.
Tidak ada yang bicara. Tapi aku dengar bunyi kayu kecil digeser di lantai. Seperti mereka menutup sesuatu.
Aku penasaran setengah mati. Aku mengintip melalui celah pintu.
Di ruang tengah, Pak Leman berdiri menghadap pintu utama. Tangannya memegang semacam sapu lidi yang ujungnya diikat kain merah. Di bawah pintu, ada taburan garam dan daun kering.
Langkah di luar berhenti.
Lalu suara itu datang lagi, kali ini seperti suara anak kecil.
“Pak… bukain… aku dingin…”
Bu Rini menangis pelan dari dapur, suaranya ditahan seperti orang menelan air mata.
Pak Leman tidak bergerak. Ia hanya berkata, sangat pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Bukan anakku.”
Suara anak kecil itu tertawa. Tapi tawanya bukan tawa anak. Itu tawa yang terlalu tua.
“Bukan anakmu… tapi namamu kupinjam…”
Lampu dapur berkedip. Sekali. Dua kali. Lalu stabil.
Dan tiba-tiba, dari arah kebun, terdengar suara buah jatuh. Gedebuk. Lalu gedebuk lagi. Banyak. Seolah ada yang melempar cempedak satu per satu ke tanah, dengan ritme yang sengaja dibuat.
Di luar, langkah kaki menjauh, menuju kebun.
Kami semua diam.
Aku baru sadar punggungku basah oleh keringat.
Aku ingin bertanya kenapa mereka tidak mengusir, tidak membuka, tidak menantang. Tapi jawabannya sederhana: karena menantang sesuatu yang tidak main aturan manusia itu bukan keberanian, itu kelalaian.
Pagi Datang, Tapi Nggak Semua Rasa Takut Ikut Pergi
Pagi akhirnya datang, dan desa kembali terlihat normal. Orang-orang lewat membawa keranjang, anak-anak bersepeda, suara radio dari rumah tetangga terdengar pelan. Seolah semalam tidak terjadi apa-apa.
Tapi ada satu hal yang membuatku yakin itu bukan mimpi.
Di tanah dekat dinding samping rumah, ada jejak basah. Jejak kaki tanpa alas, ukurannya kecil seperti remaja, tapi jari-jarinya… terlalu panjang. Di sekitar jejak itu, ada serpihan daun cempedak yang masih segar, seperti baru diremas.
Aku menatap Pak Leman.
Ia tidak kaget. “Kamu lihat, kan?”
Aku mengangguk.
Pak Leman menghela napas. “Makanya orang sini kalau malam tidak sembarang jawab panggilan. Yang paling gampang dipancing itu rasa penasaran.”
Bu Rini menyodorkan sarapan. Tangannya masih gemetar, tapi ia memaksakan senyum. “Kalau mau kerja, kerja. Tapi jangan ke kebun sendirian.”
Aku mengiyakan. Lalu aku teringat sesuatu: semalam, suara perempuan memanggil namaku dengan hangat. Suara itu seperti dekat sekali.
Aku bertanya pelan, “Pak… kalau semalam saya jawab, apa yang terjadi?”
Pak Leman menatap jauh ke arah kebun cempedak. “Kalau kamu jawab, berarti kamu mengakui panggilan itu milikmu. Kamu memberi ruang. Dan kalau sudah ada ruang… dia masuk.”
Kalimat itu sederhana, tapi efeknya seperti disiram air es.
Di titik itu, aku paham kenapa cerita horor desa Alur Cempedak bertahan dari mulut ke mulut. Karena horornya bukan cuma penampakan. Horornya ada di ide bahwa sesuatu bisa meniru yang kita percaya: suara yang akrab, nama kita sendiri, dan rasa aman yang tiba-tiba jadi jebakan.
Kenapa Cerita Ini Terasa Dekat (Padahal Kamu Mungkin Belum Pernah ke Sana)
Ada alasan kenapa cerita seperti ini gampang melekat.
Pertama, ia bermain di area paling manusiawi: rasa penasaran.
Kedua, ia pakai alat yang tidak terlihat: suara. Kamu tidak perlu lihat hantu untuk takut, cukup dengar namamu dipanggil saat seharusnya tidak ada siapa-siapa.
Ketiga, ia menyentuh aturan sosial desa yang sering diremehkan orang luar. Di banyak kampung di Sumatera Utara, ada etika malam hari: jangan sembarang keluar, jangan sombong, jangan menyepelekan larangan. Itu bukan karena orang desa “kolot”. Itu karena mereka hidup lama berdampingan dengan alam yang punya cara sendiri menjaga batas.
Dan kalau kamu tanya apakah aku akan kembali ke Alur Cempedak?
Mungkin. Tapi kali ini dengan satu prinsip yang kupegang kuat: kalau malam ada yang memanggil, aku akan pastikan itu manusia dulu. Kalau tidak, biar saja suaranya hilang ditelan kebun.
Karena kalau ada pelajaran dari horor desa Alur Cempedak, itu satu: beberapa panggilan memang lebih aman tidak dijawab.