Tidak semua cerita horor dimulai dari “jangan lewat sini ya.” Kadang horor itu dimulai dari hal yang kelihatan baik-baik saja: undangan pulang kampung, acara keluarga, dan niat sederhana untuk menenangkan kepala. Kamu datang dengan pikiran netral, lalu pulang membawa sesuatu yang tidak kelihatan—tapi rasanya menempel.
Begitulah kisah tentang desa Damar Condong yang saya dengar dari Raka, teman kuliah saya yang biasanya paling rasional sedunia. Raka bukan tipe orang yang percaya hal-hal mistis. Dia tipe yang kalau kamu cerita soal “merasakan aura”, dia akan menatapmu seperti kamu baru saja mengusulkan rapat jam 6 pagi. Tapi setelah kejadian itu, ada satu kalimat yang dia ulang-ulang, pelan, seperti sedang meyakinkan diri sendiri: “Tempat itu nggak jahat. Tapi tempat itu punya aturan.”
Cerita ini saya tulis sebagai narasi horor bergaya cerita lisan—bukan klaim fakta yang bisa kamu uji pakai GPS. Namun alurnya lengkap, tokohnya jelas, kejadian menyambung, dan kamu akan paham kenapa Raka memilih tidak kembali meski ditawari liburan gratis.
Perjalanan yang Awalnya Biasa Saja
Raka berangkat ke desa Damar Condong karena alasan yang sangat manusiawi: dia diminta mengantar ibunya menghadiri acara keluarga jauh. Salah satu sepupunya menikah, dan keluarga besar berkumpul di sana. Raka awalnya menolak, tapi ibunya punya jurus yang sulit ditangkis, “Kamu jarang pulang, setidaknya temani ibu sekali ini.”
Perjalanan panjang berakhir sore hari ketika langit mulai berubah warna. Desa itu tidak tampak menyeramkan. Rumah-rumahnya rapat tapi rapi, suara motor sesekali lewat, ada anak kecil main di tepi jalan. Kalau kamu cuma lewat, kamu akan mengira ini desa biasa yang tenang.
Namun hal pertama yang membuat Raka merasa “ada yang berbeda” justru hal kecil: orang-orang di sana menyapa ramah, tapi cepat sekali mengakhiri percakapan begitu matahari turun. Seperti ada jam internal yang sama di kepala semua orang.
“Masuk dulu, Nak. Udah mau gelap,” kata seorang bapak sambil tersenyum, padahal Raka cuma berdiri di depan warung.
Yang bikin Raka merinding bukan kalimatnya. Tapi nada suaranya. Bukan seperti melarang, lebih seperti mengingatkan seseorang yang akan lupa pada sesuatu yang penting.
Rumah Tua dan Lampu yang Tidak Boleh Padam
Malam itu, Raka dan ibunya menginap di rumah seorang paman tua, Pak Saut. Rumahnya kayu, lantainya sedikit berderit, dan di ruang tengah ada lampu petromaks yang menyala terang. Bukan listrik. Petromaks.
Raka sempat bercanda, “Pak, ini lagi mati lampu ya?”
Pak Saut tidak tertawa. Dia hanya menambahkan minyak, memastikan nyalanya stabil, lalu berkata pelan, “Di sini, lampu begini jangan sampai padam malam-malam. Kalau padam, ribut nanti.”
Raka mengira “ribut” maksudnya repot nyalain lagi. Tapi cara Pak Saut memandang lampu itu seperti memandang sesuatu yang hidup—seperti lampu itu bukan benda, melainkan penjaga.
Setelah makan malam, ibunya masuk kamar. Raka masih duduk di ruang tengah, scrolling HP. Sinyal naik turun, tapi dia masih bisa buka chat. Di luar, angin lewat pelan. Bunyi daun seperti disisir.
Dan di situlah kejadian pertama yang membuat ceritanya berubah: Raka mendengar suara orang berjalan di teras. Pelan. Teratur. Seperti langkah seseorang yang tidak ingin ketahuan.
Raka mengira ada saudara yang datang. Dia berdiri, membuka pintu, tapi teras kosong. Jalan depan rumah juga sepi. Hanya suara jangkrik dan bau tanah basah.
Raka menutup pintu lagi. Baru saja dia duduk, langkah itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat. Seolah orang itu berjalan bolak-balik, tidak masuk, tapi juga tidak pergi.
Raka menoleh ke arah Pak Saut yang masih di ruang tengah, duduk diam. Pak Saut tidak bertanya “ada apa.” Dia hanya berkata, tanpa menoleh, “Jangan dibuka lagi.”
Kalimat itu membuat Raka merasa seperti anak kecil yang baru saja hampir menyentuh kabel terbuka.
Nama yang Dipanggil dari Arah Gelap
Kejadian kedua terjadi sekitar tengah malam. Raka terbangun karena suara yang sangat jelas: seseorang memanggil namanya dari luar jendela kamar.
“Raka…”
Bukan suara menyeramkan. Justru suara yang terdengar biasa, seperti orang yang butuh bantuan. Intonasinya datar, tidak memaksa, tapi cukup untuk memancing refleks.
Raka duduk. Jantungnya langsung cepat. Dia menunggu suara itu lagi.
“Raka… keluar bentar.”
Di rumah kayu, suara mudah menembus. Tapi yang aneh, suara itu seperti berasal dari dekat, tepat di bawah jendela. Padahal jendelanya cukup tinggi.
Raka nyaris menjawab. Nyaris. Lalu dia teringat kata Pak Saut: jangan dibuka lagi, jangan menanggapi. Entah kenapa, otaknya langsung menyusun satu kesimpulan sederhana: kalau ini benar orang, harusnya dia memanggil dari pintu, bukan dari bawah jendela.
Raka menahan napas, mencoba diam. Tapi suara itu datang sekali lagi, kali ini meniru suara ibunya—sangat mirip.
“Raka, tolong bukain…”
Itu bukan lagi sekadar aneh. Itu menakutkan.
Raka meraih HP, menyalakan senter kecil. Cahaya memantul di dinding. Dia mengintip celah jendela, tapi yang terlihat hanya gelap dan bayangan pohon.
Dan ketika dia kembali ke kasur, terdengar ketukan pelan dari arah pintu kamar. Bukan gedoran. Ketukan halus, tiga kali, sopan, seperti tamu yang tahu etika.
Tok. Tok. Tok.
Raka membeku. Jika ada orang, harusnya terdengar langkah di lantai. Tapi ketukan itu datang tanpa suara langkah, tanpa suara napas, tanpa suara kain bergesekan.
Raka tidak membuka pintu. Dia menutup mata, memaksa diri mengingat hal paling logis di dunia: “Aku mungkin lagi kebawa suasana.” Tapi tubuhnya tidak percaya.
Beberapa menit berlalu, ketukan berhenti. Suara di luar juga berhenti. Sunyi yang tersisa bukan sunyi normal. Sunyi yang seolah menunggu keputusanmu.
Pagi yang Terlalu Normal
Pagi datang dengan terlalu normal, seperti malam itu tidak pernah terjadi. Burung berkicau, orang menyiapkan sarapan, ibunya menyuruh Raka mandi. Bahkan Pak Saut terlihat santai, seolah semalam tidak ada apa-apa.
Raka ingin bertanya, tapi gengsi. Dia takut ditertawakan. Namun saat mereka minum kopi di dapur, Pak Saut berkata duluan, pelan, tanpa menatap Raka.
“Tadi malam ada yang manggil kau?”
Raka langsung menoleh. “Bapak dengar?”
Pak Saut menggeleng. “Aku nggak perlu dengar. Biasanya begitu kalau ada orang baru datang. Apalagi kalau kamu sering pulang larut di kota. Kamu bawa capekmu ke sini. Ada yang suka.”
Raka tidak mengerti “ada yang suka” maksudnya apa. Tapi cara Pak Saut mengucapkannya bukan seperti orang membual. Lebih seperti orang yang sudah terlalu sering melihat kejadian yang sama, sampai tidak kaget lagi.
Lalu Pak Saut memberikan satu aturan yang terdengar sederhana namun sangat spesifik: kalau malam dengar panggilan dari luar, jangan jawab, jangan cari sumbernya, dan jangan membalas meski suaranya mirip keluarga sendiri.
“Kalau kamu jawab, berarti kamu mengakui,” kata Pak Saut. “Kalau kamu mengakui, nanti dia pikir kamu mau ditemani.”
Raka menelan ludah. Kata “ditemani” diucapkan seperti ancaman yang halus.
Puncak Kejadian di Malam Acara Keluarga
Malam berikutnya adalah malam sebelum acara keluarga. Rumah ramai, saudara datang silih berganti. Raka merasa lebih aman karena banyak orang. Dia mulai yakin malam sebelumnya hanya karena suasana baru.
Sampai listrik rumah benar-benar mati.
Sekali lagi, petromaks dinyalakan. Pak Saut memasang lampu itu di ruang tengah seperti menempatkan penjaga. Semua orang menganggap itu biasa. Mereka ngobrol, tertawa, makan kue. Raka ikut tertawa, tapi matanya beberapa kali melirik ke jendela.
Sekitar pukul sembilan, seorang sepupu kecil, Nita, tiba-tiba berdiri dan menunjuk ke arah pintu.
“Kak, itu siapa yang berdiri di luar?” tanyanya polos.
Semua orang menoleh. Pintu tertutup. Tidak ada yang melihat apa-apa.
“Ada orang? Mana?” tanya bibi.
Nita mengerutkan kening. “Tadi ada. Pakai baju gelap. Dia senyum.”
Raka merasakan tengkuknya dingin. Bukan karena angin, tapi karena kalimat “dia senyum” terasa terlalu spesifik untuk imajinasi anak kecil.
Pak Saut langsung berdiri, memutar knop petromaks agar nyalanya lebih terang. “Nita, masuk kamar aja,” katanya tegas.
Raka memperhatikan detail kecil yang membuatnya yakin ini bukan sekadar panik: semua orang dewasa mendadak diam. Mereka tidak bertanya lebih jauh. Mereka hanya mempercepat agenda, menyuruh anak-anak masuk, dan menutup rapat semua jendela.
Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Dia menunggu sesuatu. Dan memang sesuatu datang: suara langkah lagi di teras, kali ini lebih cepat, seolah orang itu berjalan mondar-mandir dengan kesal karena pintu tidak dibuka.
Lalu suara itu berhenti di depan pintu rumah.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan yang sama. Sopan. Mengganggu. Seolah siapa pun di luar sana paham etika bertamu—tapi tidak paham batas.
Pak Saut keluar dari kamar, berdiri di ruang tengah, menatap pintu, lalu berkata keras, tapi tetap sopan, seperti bicara dengan tetangga.
“Kami sudah istirahat. Kalau ada urusan, besok siang.”
Setelah itu, ketukan berhenti. Langkah menjauh perlahan.
Raka baru sadar dia menahan napas sejak tadi.
Keputusan yang Membuat Cerita Ini Berakhir
Keesokan paginya, Raka memaksa ibunya pulang lebih cepat. Dia tidak bilang alasan sebenarnya. Dia cuma bilang kerjaan menumpuk. Ibunya protes, tapi akhirnya setuju.
Sebelum pergi, Pak Saut menepuk pundaknya. “Kamu nggak salah. Kamu cuma tamu. Tapi kalau kamu balik lagi, ingat aturannya. Jangan merasa tempat itu harus menyesuaikan kamu. Kamu yang menyesuaikan tempat.”
Dalam perjalanan pulang, Raka tidak banyak bicara. Namun setelah mereka sampai kota, dia mengirim pesan ke saya: “Gue baru ngerti kenapa orang kampung suka bilang, ‘jaga mulut, jaga langkah.’ Itu bukan soal sopan santun doang. Itu soal selamat.”
Sejak hari itu, Raka tidak pernah menyebut desa itu dengan nada bercanda. Dia selalu menyebutnya penuh: desa Damar Condong. Seolah menyebutnya asal-asalan bisa memanggil sesuatu.
Dan mungkin, untuk beberapa tempat, nama memang bukan sekadar nama. Nama adalah alamat.
Kenapa Cerita Desa Damar Condong Terasa Menempel
Karena horornya tidak berlebihan. Tidak ada penampakan yang dibuat-buat. Tidak ada adegan lari di hutan. Horornya datang dari hal yang dekat: ketukan pintu, panggilan nama, dan perasaan bahwa kamu sedang diuji untuk melanggar aturan kecil.
Pelajaran paling tajam dari kisah ini bukan “jangan datang.” Tapi “kalau datang, jangan sombong.” Banyak cerita horor kampung sebenarnya cara masyarakat menjaga ritme hidup: jangan keluyuran malam, jangan gampang menyahut panggilan, jangan merasa kamu pusat dunia.
Di desa Damar Condong, aturan itu terasa hidup. Dan kalau kamu memaksakan logika kota, tempat itu tidak akan marah. Ia hanya akan mengingatkan. Pelan, sopan, tapi cukup untuk membuatmu tidak ingin mengulang kesalahan.