IKN dan Hutan yang Tak Sepenuhnya Diam: Antara Ambisi Negara dan Desas-Desus Mistis
June 20, 2025

Suatu malam, di tenda pekerja proyek yang berdiri sementara di tengah hutan Kalimantan Timur, seorang tukang bangunan tertawa kecil sambil menunjuk arah bukit. “Kalau dengar suara musik dari sana, jangan jawab,” katanya pelan. “Biarin aja. Itu bukan untuk kita.”

Kisah itu mungkin terdengar seperti dongeng, tapi bagi sebagian orang yang kini mengabdi pada megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, cerita semacam ini bukan hal yang asing. Seiring dengan cepatnya pembangunan jalan, gedung, dan fasilitas penunjang, kabar tentang hal-hal tak kasat mata pun ikut merambat.

Tanah Baru, Cerita Lama

IKN

IKN dibangun bukan di tanah kosong. Ia berdiri di atas bentang alam Kalimantan yang telah hidup jauh sebelum negara ini punya ibu kota pertama. Di hutan yang lebat dan sunyi, masyarakat adat Dayak telah lama menjaga batas antara dunia manusia dan dunia lain yang tak disebut namanya sembarangan.

“Kalau kita mau membuka lahan, ada ritualnya. Ada yang perlu ‘diberi tahu’ dulu,” kata Bapak Yusran, seorang warga dari sekitar lokasi proyek. Ia tidak menolak pembangunan. Tapi ia gelisah. “Kita ini cuma numpang hidup. Kadang yang punya tempat itu bukan kita,” ujarnya, sambil menatap hutan yang kini perlahan mulai berubah wajah.

Malam yang Berbisik

Salah satu pekerja dari Pulau Jawa, yang baru pertama kali ke Kalimantan, mengaku sulit tidur di minggu-minggu pertamanya. Bukan karena nyamuk atau udara lembab, melainkan karena rasa tidak nyaman yang ia tak bisa jelaskan.

“Ada malam-malam di mana suara itu datang. Seperti orang berjalan di daun kering, padahal semua orang lagi tidur,” katanya, menolak menyebutkan namanya.

Beberapa pekerja lainnya mengalami hal serupa. Ada yang mendengar suara perempuan tertawa di kejauhan. Ada juga yang merasa diikuti saat kembali ke tenda setelah menyelesaikan shift malam. Apakah ini hanya efek kelelahan? Atau mungkin, seperti yang diyakini sebagian orang tua di kampung terdekat, hutan sedang memperingatkan?

Bukan Sekadar Lokasi Proyek

Hutan Kalimantan bukan hanya habitat flora dan fauna, tetapi juga rumah bagi cerita-cerita lama yang diwariskan secara lisan. Ada kawasan yang dianggap keramat, tempat berlangsungnya ritual leluhur, atau lokasi yang memang dari dulu ‘tidak sembarang orang boleh masuk’.

Dalam pembangunan skala besar seperti IKN, sering kali batas antara kepercayaan lokal dan keputusan teknokratis menjadi kabur. Dalam peta, lokasi itu hanya koordinat. Tapi bagi sebagian masyarakat, itu bisa jadi makam, situs sakral, atau bahkan tempat ‘penunggu’ tinggal.

Pemerintah dan Respons Budaya

Memang, pemerintah tidak tinggal diam. Konsultasi publik telah dilakukan. Sejumlah tokoh adat dilibatkan. Tapi seberapa dalam dialog itu menyentuh? Banyak warga adat menganggap bahwa pendekatan selama ini masih sebatas formalitas. “Kami dilibatkan, iya. Tapi kami tidak merasa benar-benar diajak bicara,” ujar seorang tokoh adat Kutai yang pernah hadir dalam pertemuan resmi.

Ada jarak antara apa yang disebut sebagai “pelibatan masyarakat” dalam dokumen resmi, dan apa yang benar-benar dirasakan di lapangan. Terlebih, banyak cerita horor yang muncul justru setelah pembangunan fisik dimulai—seolah menjadi respons balik dari tanah yang terusik.

Apa yang Viral dan Apa yang Tak Terlihat

Belakangan, platform seperti TikTok dan YouTube dipenuhi cuplikan-cuplikan yang menampilkan kejanggalan di sekitar lokasi pembangunan IKN. Dari bayangan yang lewat sekilas dalam rekaman drone, suara-suara misterius saat syuting malam, hingga testimoni para pekerja yang terdengar ragu-ragu tapi jujur.

Sebagian orang mungkin menganggap ini bumbu viral. Tapi jika ditilik lebih dalam, cerita-cerita ini menyimpan narasi yang lebih besar: bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan angka, desain, atau target pembangunan.

Membuka Ruang untuk yang Tak Terukur

Di tengah ambisi membangun ibu kota yang hijau, cerdas, dan terintegrasi teknologi, ada pertanyaan yang mengendap: apakah ruang untuk hal-hal tak terukur masih punya tempat?

Arsitektur modern bisa mengakomodasi ruang terbuka hijau dan bangunan rendah emisi. Tapi bisakah ia juga memberi tempat bagi situs keramat? Bisakah kita membangun dengan tetap membiarkan satu pohon tua tetap berdiri karena “ada sesuatu di sana”?

Mungkin inilah saatnya memikirkan ulang cara kita mendefinisikan kemajuan. Bahwa membangun tak selalu berarti meratakan. Kadang, membiarkan sesuatu tetap ada adalah bentuk pembangunan juga.

Arah Baru: Mengharmonikan, Bukan Menghapus

Sejumlah inisiatif warga mulai muncul. Beberapa kelompok budaya mendorong agar area-area yang dianggap sakral tidak dihancurkan, melainkan dijadikan bagian dari kawasan edukatif dan konservatif spiritual. Jika dilihat dari sudut pandang pariwisata, pendekatan ini justru membuka peluang.

Bayangkan sebuah kawasan di pinggir IKN yang bisa dikunjungi wisatawan untuk memahami kepercayaan lokal, sekaligus menikmati hutan yang tetap lestari. Bukan wahana horor seperti di taman hiburan, tapi tempat belajar tentang hubungan manusia dan alam dalam cara yang paling kuno dan paling tulus.

Kesimpulan: Sebuah Ibu Kota, Banyak Cerita

IKN adalah masa depan. Tapi tanah tempat ia berdiri menyimpan masa lalu yang panjang dan sunyi. Di antara jalur truk pengangkut beton, di balik tumpukan kabel dan alat berat, ada jejak-jejak lama yang belum tentu bisa dilihat oleh semua orang—tapi terasa oleh mereka yang peka.

Cerita tentang spot horor di Kalimantan bukan sekadar kisah seram. Ia adalah pengingat bahwa pembangunan seharusnya tak hanya mencakup yang terlihat, tapi juga yang terasa. Tak hanya menghitung hektar dan ton, tapi juga mendengarkan bisik yang pelan di malam hari.

Dan mungkin, jika kita cukup berani untuk mendengar, IKN bisa jadi bukan hanya ibu kota baru—tetapi juga kota yang tahu cara menghargai yang lama.

Pabrik Kayu Gelap di Samarinda: Antara Kenangan, Ketakutan, dan Sesuatu yang Tak Terlihat