
Alun-Alun Selatan: Di Balik Riuh Ada Sunyi
Temukan sisi lain Alun-Alun Selatan Yogyakarta melalui kisah spiritual dan mistis seputar pohon beringin kembar dan tradisi Masangin yang melegenda. Di tengah keramaian kota Yogyakarta, ada satu tempat yang menyimpan kisah berbeda: Alun-Alun Selatan, dikenal juga sebagai Alkid. Siang hari, tempat ini biasa saja—terang, terbuka, dan ramai. Tapi ketika malam datang, suasananya perlahan berubah. Dua pohon beringin besar yang berdiri berdampingan menjadi pusat perhatian. Mereka bukan hanya pepohonan, tetapi simbol dari sesuatu yang lebih dalam.
Jejak Sejarah dan Kehadiran Tak Terlihat

Tempat ini dulunya bagian penting dalam struktur Keraton Yogyakarta. Di sinilah para prajurit berlatih dan kerajaan mengadakan upacara. Pohon beringin kembar ditanam bukan sembarangan, melainkan sebagai pelindung, penjaga, dan pengingat akan dua dunia: dunia nyata dan dunia halus.
Pohon beringin, dalam budaya Jawa, dikenal sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus. Oleh karena itu, masyarakat Jawa sering menaruh sesajen di bawah pohon besar sebagai bentuk penghormatan dan permisi kepada penunggu tak kasatmata.
Pohon Beringin Kembar: Bukan Sekadar Simbol
Dua pohon ini mengundang rasa penasaran. Banyak yang bilang, pohon ini adalah ‘gerbang’. Konon, ada jalur tak kasatmata di antara mereka yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang jujur hatinya. Dari sinilah muncul ritual Masangin.
Pohon beringin ini juga dianggap sebagai simbol dualisme dalam kehidupan: terang dan gelap, dunia manusia dan dunia gaib, antara logika dan rasa. Berdiri di tengah-tengah keduanya seperti mencoba menyeimbangkan segala hal dalam hidup.
Masangin: Percobaan atau Panggilan Jiwa?
Cara melakukannya mudah secara teori: tutup mata, mulai dari jarak beberapa meter, lalu berjalan lurus melewati celah di antara dua beringin. Nyatanya? Banyak yang gagal. Tanpa sadar, kaki melenceng, arah berubah. Mengapa?
Beberapa bilang karena faktor psikologis. Tapi ada pula yang percaya bahwa ada energi gaib yang menyaring siapa saja yang “layak” untuk melintasi jalur itu.
Dalam pengalaman beberapa orang, mereka mengaku merasa seperti ada angin atau sesuatu yang “menarik” ke arah lain. Bahkan ada yang mengatakan seperti mendengar suara halus memanggil, walau saat itu hanya ada mereka seorang diri.
Kisah-Kisah Tak Terlihat, Tapi Terasa
Cerita beredar: bayangan hitam yang melintas diam-diam, suara langkah di malam hari, rasa berat saat mencoba berjalan melewati pohon. Bahkan ada yang mengaku melihat sosok prajurit berjalan melintasi lapangan lalu lenyap begitu saja.
Beberapa pedagang di sekitar Alkid juga mengaku sering melihat anak kecil bermain sendiri di dekat pohon pada malam hari—padahal tidak ada anak kecil di sana. Sosok perempuan berambut panjang duduk diam di bawah pohon juga sering diceritakan dalam kisah-kisah warga sekitar.
Apakah ini nyata? Bagi sebagian warga dan pengunjung, kisah itu bukan hal baru. Bagi mereka, tempat ini memang dijaga—bukan oleh manusia.
Hiburan Malam dan Batas Tak Terucap
Di satu sisi, Alkid adalah tempat hiburan malam. Lampu warna-warni, sepeda hias, jagung bakar, dan keluarga tertawa. Tapi di sisi lain, di tengah lapangan, ada semacam keheningan yang tak bisa disentuh oleh keramaian. Kontras yang membuat tempat ini begitu istimewa.
Pengalaman Masangin justru lebih mengena saat suasana sekitar riuh. Karena di tengah keramaian, saat kamu berjalan dengan mata tertutup dan sunyi di dalam diri, kamu akan menyadari bahwa ritual ini bukan tentang apa yang terlihat—melainkan tentang apa yang kamu rasakan.
Panduan Diam-Diam untuk Masangin
Kalau kamu ingin mencobanya, simpan baik-baik hal ini:
- Datang dengan pikiran terbuka dan hati tenang.
- Jangan bercanda berlebihan di dekat pohon.
- Hargai tradisi meskipun kamu tak memercayainya.
- Jangan terlalu dipaksakan—jika gagal, terima saja.
- Hindari mencoba dengan niat sombong atau sekadar pamer.
Ritual ini lebih seperti dialog sunyi antara diri dan alam, antara niat dan kesadaran. Bukan permainan biasa.
Menutup dengan Rasa, Bukan Logika
Ada hal-hal yang tak perlu dijelaskan. Alun-Alun Selatan adalah salah satunya. Pohon beringin kembar bukan cuma ikon visual, tapi juga jendela menuju sesuatu yang tak terlihat. Masangin bukan sekadar permainan, melainkan pengalaman pribadi yang tak bisa dipaksakan.
Kalau kamu datang dan mencoba, jangan hanya gunakan mata atau kaki. Gunakan hatimu. Mungkin, itu satu-satunya kunci untuk berjalan lurus.
Dan ketika kamu gagal—anggap saja itu cara alam memberitahumu untuk lebih banyak merenung. Karena kadang, gagal bukan berarti tidak mampu, tapi sedang diajak untuk lebih mengenali diri sendiri.
Gedung-Gedung yang Dikutuk? Misteri Arsitektur Angker di Pulau Jawa